Kalimat Bhinneka Tunggal Ika Diambil Dari Kitab

Keberagaman yang Bersatu

Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya  dari Sabang-Merauke. Banyak perbedaan itulah yang membuat Indonesia dikatakan sebagai negara yang unik. Meski berbeda-beda, semangat persatuan dan kesatuan untuk negara tetap harus berkobar.

Kekayaan Budaya dan Keunikan

Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan, tradisi, kesenian, dan bahasa. Keempat aspek warisan para leluhur itulah yang harus kita jaga hingga akhir hayat.

Arti dan Makna Bhinneka Tunggal Ika, Semboyan Nasional Indonesia

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika ternyata berasal dari Kitab Sutasoma yang karya Mpu Tantular. Ia membuat kitab tersebut pada masa Kerajaan Majapahit.

Lantas, seperti apa sejarah dan makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma tersebut? Berikut ini ulasannya dirangkum berbagai sumber, Sabtu (7/10/2023).

Apa yang dimaksud Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa?

Bhinneka Tunggal Ika dalam kitab Sutasoma diambil dari kalimat lengkap Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

Dalam aksara latin, bait lengkap Bhinneka Tunggal Ika berbunyi: “Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

Terjemahannya: “konon antara ajaran Buddha dan Hindu berbeda, namun kapan Tuhan dapat dibagi-bagi, sebab kebenaran Jina dan Siwa adalah tunggal, berbeda itu tapi satu jualah itu, tak ada dharma (jalan kebaktian/kebaikan) yang mendua tujuan.”

Kitab Sutasoma menunjukkan bahwa dalam sejarah Majapahit abad ke-14 semangat toleransi kehidupan beragama sangat tinggi.

Digambarkan bahwa dua agama besar Hindu dan Budha hidup secara bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama besar itu beriringan di bawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam Wuruk.

Oleh karena itu meskipun Budha dan Siwa merupakan dua substansi yang berbeda, namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Budha dan kebenaran Siwa bermuara pada hal Satu. Mereka memang berbeda, tetapi sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.

tirto.id - Pendidikan

Kontributor: Balqis FallahndaPenulis: Balqis FallahndaEditor: Iswara N Raditya & Balqis Fallahnda

JAKARTA, iNews.id - Sejarah dan makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma perlu diketahui oleh semua orang, tak terkecuali warga negara Indonesia.

Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semboyan tersebut dapat kita temukan di Garuda Pancasila.

Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan nasional Indonesia. Arti dari simbol tersebut adalah berbeda-beda tetapi tetap satu meski ada perbedaan namun tetap harus bersatu.

Bhinneka Tunggal Ika sendiri terdapat pada Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular. Kakawin berbahasa Jawa Kuno itu ditulis olehnya pada masa kekuasaan Raja Majapahit, Hayam Wuruk tepatnya pada akhir abad ke-14.

Makna Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Semboyan bangsa Indonesia, merupakan kutipan dari Kitab Sutasoma.

Kutipan kata-kata itu diambil pada pupuh 139 bait lima yang berbunyi sebagai berikut.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Pada bait itu dijelaskan bahwa meski Buddha dan Siwa berbeda tetapi dapat tetap dikenali.

Sebab Buddha dan Siwa adalah tunggal, meski berbeda.

Sehingga bila diterjemahkan, kata bhinneka berarti ragam, tunggal berarti satu, dan ika berarti itu.

Jadi, menurut asal kata, semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki arti berbeda-beda tetapi tetap satu.

Baca Juga: 4 Fungsi Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum, Apa Saja?

Nah, kata-kata itu dianggap sesuai dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan ras.

Kecocokan itu membuat kata-kata Bhinneka Tunggal Ika dicantumkan dalam lambang negara Garuda Pancasila.

Hingga kini semboyan tersebut masih sesuai dan perlu terus dipelajari serta diamalkan oleh semua masyarakat Indonesia.

Kapan Kitab Sutasoma dibuat?

Petunjuk: cek di halaman 1!

Lihat juga video ini, yuk!

Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.

Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.

Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023

Artikel ini merupakan bagian dari Parapuan

Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Belajar Empati dengan Berbagi, SPK Jakarta Nanyang School Kunjungi Panti Asuhan Desa Putera

Unity in Diversity, the official national motto of Indonesia

Kitab Sutasoma atau Kakawin Sutasoma adalah benda peninggalan sejarah berupa karya sastra yang dikarang oleh Mpu Tantular. Kitab ini ditulis menggunakan aksara dan bahasa Jawa Kuno.

Dikutip dari laman resmi Museum Nasional, kitab Sutasoma tercipta di akhir abad ke-14. Kala itu merupakan era keemasan kerajaan Majapahit yang berada di bawah kekuasaan Hayam Wuruk.

Kakawin dalam bahasa Jawa kuno berarti syair. Kitab Sutasoma ditulis ulang di atas daun lontar pada tahun 1851 dengan ukuran 40,5 X 3,5 cm.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut buku Indonesiaku Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis Isra Widya Ningsih, dkk siapa penulis ulang kitab tersebut belum diketahui dengan pasti.

Mengutip dari buku berjudul Pesona & Sisi Kelam Majapahit karangan Sri Wintala Achmad, Kakawin Sutasoma bertuliskan tentang "Mangkang jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hanadharmma mangrwa".

Kitab ini digubah di bawah naungan Sri Ranamanggala. Gubahan dilakukan pada sekitar tahun 1365-1369 saat pemerintahan Hayam Wuruk.

Gubahan tersebut sangat penting karena memuat ide-ide religius, khususnya tentang agama Buddha Mahayana dan hubungannya dengan agama Siwa.

Adapun situs resmi Balai Arkeologi Provinsi D.I Yogyakarta menyebut kakawin ini memilki keunikan dimana sang penulis mengambil tokoh yang mempunyai latar belakang keturunan Pandawa dan menggantikannya dengan kisah Buddha.

Kitab Sutasoma juga cenderung menyinggung peringatan timbulnya gejala-gejala perseteruan antara keraton barat (Kusumawardhani/Wikramawardhana) dengan keraton timur (Bhre Wirabhumi).

Perseteruan kedua keturunan Hayam Wuruk melahirkan sebuah perang secara bertahap yang dikenal sebagai Perang Paregreg.

Asal Mula Bhinneka Tunggal Ika

Mengutip dari buku Indonesiaku Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis Isra Widya Ningsih, dkk. Kutipan frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat dalam Kakawin Sutasoma pada pupuh 139 bait 5, berikut bunyinya.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa

Bait tersebut menjelaskan Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Walaupun Buddha dan Siwa berbeda tetapi mereka dapat dikenali. Sebab kebenaran Siwa dan Buddha adalah tunggal. Berbeda tetapi tungga, sebab tidak ada kebenaran yang mendua.

Dari bait di Kitab Sutasoma itulah terlahirnya semboyan bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Jika diterjemahkan tiap kata, bhinneka artinya beraneka ragam, tunggal berarti satu dan ika berarti itu. Yang mencerminkan kebergaman, baik suku bangsa, agama, ras antargolongan.

Modal inilah terbentuknya satu persatuan dan kesatuan Indonesia.

From Simple English Wikipedia, the free encyclopedia

Bhinneka Tunggal Ika (English: "It is different, [yet] it is one") is Indonesia's official national motto. It's written on the emblem of Indonesia, called the Garuda Pancasila. The phrase means "Unity in Diversity" in Old Javanese. This motto is also in Indonesia's Constitution, in article 36A. It talks about Indonesia being united and whole even though it has many cultures, languages, ethnicities, religions, and beliefs.[1]

The words come from an Old Javanese poem called Kakawin Sutasoma, written by Mpu Tantular, a famous poet in Javanese Literature during the time of the Majapahit empire in the 14th century. King Rājasanagara, also known as Hayam Wuruk, was ruling then.[2]

Warisan Budaya Indonesia Foundation Hadirkan Gathering Bhinneka Tunggal Ika, Ini Tujuannya

Istilah Bhinneka Tunggal Ika ini bersumber dari bahasa Sansekerta. Bhinneka berasal dari gabungan kata suku kata Bhinna yang artinya berbeda-beda dan Ika yang artinya itu atau tunggal.

Menurut Sri Wintala Achmad pada bukunya yang berjudul Pesona dan Sisi Kelam Majapahit, kitab Sutasoma berisikan mengenai hal-hal religius yang berhubungan dengan Buddha Mahayana dan agama Siwa. Tak hanya itu, Kitab Sutasoma juga berisikan pentingnya sikap toleransi dalam perbedaan agama.

Frasa Bhinneka Tunggal Ika terdapat pada Kitab Sutasoma pada pupuh 139 bait 5. Berikut inilah isinya: Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Sejak saat itulah Bhinneka Tunggal Ika digunakan pertama kali di Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat yang digelar tepatnya pada 11 Februari 1950.

Usulan Bhinneka Tunggal Ika yang diajukan oleh Sultan Hamid II sebagai semboyan negara Indonesia. Kemudian, semboyan itu akhirnya diperkenalkan pada 17 Agustus 1950.

Adapun makna Bhinneka Tunggal Ika yakni sebagai berikut:

Warisan Budaya Indonesia Kenalkan Kuliner Jawa di Gathering Bhinneka Tunggal Ika